Tanggapan mengenai AFTA dan MEA dan kebijakan2 yang dilaksanakan pemerintah

4 KUNCI MENGHADAPI PASAR BEBAS
                                                                                                              

OLEH SINUDYANAH

            Sejak akhir tahun 2014, AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau Pasar Bebas dan MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) sudah mulai banyak diperbincangkan oleh khalayak banyak. Para pemerintah pun sudah memberi himbauan kepada masyarakatnya untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi pasar bebas ini, seperti perbaikan kualitas produk agar mampu bersaing dengan produk asing.
            Sebelum membahas bagaimana  perbaikan kualitas produk masyarakat agar siap bersaing dengan produk impor saat diberlakukannya pasar bebas mari kita bahas dulu mengenai apa itu AFTA dan MEA? Apakah perbedaan dari AFTA dan MEA?
AFTA adalah ASEAN Free Trade Area. AFTA adalah kesepakatan yang dibentuk oleh negara-negara ASEAN untuk menciptakan suatu zona perdagangan bebas. Pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura anggota ASEAN membuat persetujuan AFTA dan para kepala negara menyepakati perdagangan bebas dalam jangka waktu 15 tahun.  Adanya AFTA ini guna menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global. Berdasarkan kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada bulan Desember 2015, AFTA diberlakukan.
            Sedangkan MEA merupakan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade antara negara-negara anggota ASEAN. Para anggota ASEAN termasuk Indonesia telah menyepakati suatu perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut.
            Jadi AFTA dan MEA tidaklah sama. AFTA adalah kesepakatan anggota ASEAN sedangkan MEA adalah negara – negara anggota ASEAN yang mengikuti kesepakatan.
            Dengan adanya AFTA ini memang banyak dampak positif nya salah satunya mudah mendapatkan produk yang dibutuhkan masyarakat yang belum diproduksi di Indonesia. Namun tidak sedikit juga dampak negatif dari AFTA tersebut.
            Dilaksanakannya pasar bebas ini berdampak pada banyak sektor, yaitu terhadap inovasi teknologi, terhadap perdagangan dan terhadap SDM. Karena adanya pasar bebas, banyak produk asing yang masuk ke Indonesia. Maka dari itu pelaku usaha IKM (Industri Kecil Menengah) haruslah memperbaiki atau meningkatkan kualitas produk mereka agar mampu bersaing dengan produk asing, karena produk yang kalah saing kualitasnya akan tergeser eksistensinya oleh produk asing yang lebih baik.
            Menurut H, Teddi Suwardi, dalam menghadapi pasar bebas  MEA, ada empat kebijakan yang dapat dilaksanakan.  Kebijakan pertama adalah; peningkatan sentra atau klaster dalam upaya pengembangan produk  unggulan daerah melalui pendekatan one village one product/satu desa satu produk (OVOP). Maksud dari satu desa satu produk ini adalah pendekatan pengembangan potensi daerah di satu wilayah unuk menghasilkan satu produk kelas global yang unik khas daerah denga memanfatkan sumber daya lokal. OVOP juga  merupakan pendekatan pengembangan potensi daerah untuk menghasilkan satu produk kelas global yang unik dan khas dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Jadi dengan adanya OVOP maka produk khas dari suatu daerah tersebut tetap terlestarikan dan dapat bersaing dengan produk asing secara global.
            Pemerintah pun harus turut dalam mendukung dan mengapresiasi pelaku usaha IKM (Industri Kecil Menengah) agar mereka termotivasi dalam menciptakan produk yang lebih baik. Bentuk dukungan yang harus diberikan pemerintah adalah berupa dana, sosialisasi bagaimana menghadapi AFTA dan MEA, juga teknologi yang cukup untuk membantu proses pembuatan produk.
            Kebijakan yang kedua adalah pemerintah mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kewirausahaan. Sumber daya manusia ini sangat penting karena menjadi pelaku utama dalam pasar bebas. Kebijakan ini dilaksanakan dengan memberikan pelatihan kepada para pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) baik dari segi manajemen dan kemampuan. Selain itu, memotivasi pelaku usaha agar memiliki jiwa wirausaha yang  tinggi dan berani untuk membuka usaha.
            Tak hanya sosialisasi dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pelaku usaha pun dapat berinovasi sendiri dalam menciptakan produk dengan memperbaharui, memperbaiki atau mengganti produk yang sudah ada menjadi produk yg lebih baik dan berkualitas untuk dapat bersaing secara global.
            Kemudian kebijakan ketiga adalah dengan meningkatkan kualitas dan standarisasi produk UMKM. Pelaku usaha UMKM harus sebisa mungkin meningkatkan kualitas produknya agar produknya disertifikasi oleh lembaga yang berwenang sehingga calon pembeli percaya akan kualitas dari produk yang ditawarkan. Dengan adanya standarisasi SNI dan sertifikasi Halal dari MUI, itu bisa menjadi nilai tambah dari sebuah produk.
            Dan kebijakan keempat adalah pemerintah memberikan fasilitasi kemudahan  pembiayaan dengan suku bunga murah. Maksudnya adalah pemerintah menyediakan dana untuk keperluan modal pelaku usaha UMKM. Karena tidak sedikit pelaku usaha yang memiliki ide yang baik untuk produknya tetapi tidak punya modal untuk meningkatkan kualitas produknya, maka dari itu pemerintah haruslah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam hal modal usaha.
            Meski keempat kebijakan tersebut dilaksanakan secara cepat, tepat dan menyeluruh tetapi tetap saja hal tersebut sudah terlambat, karena AFTA sudah berkembang pesat di Indonesia dan seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa perlu adanya peningkatan kualitas produk dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk asing atau bersaing secara global, sedangkan upaya peningkatan kualitas produk oleh pemerintah belum dilaksanakan sepenuhnya dan belum merata. Sehingga banyak produk dalam negeri yang belum memenuhi standarisasi dan produk dalam negeri sendiri tergeser dan kalah oleh produk asing.
            Pemerintah sendiri seharusnya membuat peraturan atau undang – undang yang mengatur barang impor di Indonesia dengan adanya batasan kualitas dan kuantitas yang boleh masuk di Indonesia. Karena tidak adanya undang – undang yang mengatur tentang batasan barang impor yang boleh masuk ke Indonesia itulah maka produk asing secara bebas masuk ke Indonesia dan menggeser produk dalam negeri. Undang – undang hanya mengatur tentang pengawasan pabean terhadap barang impor.
            Kalau kita tidak bisa sepenuhnya mendongkrak kualitas produk dalam negeri agar dapat bersaing secara global dan menggeser produk asing yang masuk ke Indonesia, setidaknya kita bisa menaikkan peluang produk dalam negeri agar bisa bersaing secara global. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Produk asing boleh saja masuk ke Indonesia tetapi bisa disiasati secara hukum yaitu dibuat peraturan mengenai ketentuan produk asing apa saja dan batasan jumlah yang boleh dipasarkan.

Penulis adalah mahasiswa mata kuliah Pengantar Ilmu Politik semester 1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Opini tentang buku : Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok (Puthut EA)