Menjelaskan 2 Teori Komunikasi pada Bab 7 : Functionalism and Children

Ini adalah tugas kelompok di mata kuliah Komunikasi Massa kelas 3E. bersama Hemaswari Tantia dan M. Zulfikri.

I.     Fokus pada Fungsionalisme dan Anak-Anak

       Teori fungsionalis adalah metafora organisme hidup, yang bagian-bagiannya dan organ, dikelompokkan dan diatur dalam sebuah sistem, berfungsi untuk menjaga esensinya proses berjalan. Demikian pula, anggota masyarakat dapat dianggap sebagai sel dan organisasinya institusi sebagai organ yang fungsinya mempertahankan keseluruhan kohesif dan mempertahankan homeostasis sistem.”

A.      Teori Kekerasan dalam Tayangan Televisi
                        Hasil terpenting dari penelitian tentang kekerasan adalah pengembangan bertahap dari seperangkat teori yang merangkum temuan dan menawarkan wawasan yang semakin bermanfaat, menjadi peran media dalam kehidupan anak-anak.

1.    Teori Katarsis
Catharsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti pembersihan. Teori kathrarsis pertama kali diperkenalkan pada kisaran awal tahun 1960 dalam tulisan berjudul The Stimulating versus Cathartic Effect of a Vicarious Aggressive Activity. Asumsi teori catharsis dalam kehidupan manusia yang dinamis, mengantarkan manusia pada pola kehidupan yang relative kompleks dan semakin mendesak manusia berhadapan dengan kenyataan bahwa manusia memiliki keterbatasan.

Kondisi tersebut memicu munculnya rasa frustrasi dan cenderung bersifat agresif. Lambat laun akan memupuk dan harus disalurkan secara nyata dan dibutuhkan satu cara aman untuk pelampiasan atau penyaluran. Catharsis yang merupakan penyaluran emosi yang berupa kekesalan, kesedihan, kebahagiaan, impian, dan lainnya, ini dilakukan dengan pengalaman atau Vicarious Experience. Seperti mimpi, lelucon, atau khayalan.

Dalam konteks ini, seseorang tidak melakukan penyaluran emosi dan agresinya secara nyata oleh individu tersebut, melainkan dilakukan hanya melihat atau membayangkan sesuatu tersebut dilakukan. Seperti contohnya seorang remaja yang menonton adegan boxing akan membayangkan dirinya menjadi seorang pemain boxing. Atau contoh lainnya, seorang ibu yang menonton sebuah acara TV yang menggambarkan sosok seorang anak yang baik dan berbakti kepada orang tua, ibu tersebut merasa tenang dan puas karena emosinya tersalurkan.

Atau teori katharsis bisa disebut juga dengan ide, dimana melihat atau menonton tayangan yang bersifat agresif sama dengan mengurangi keagresifan seseorang. Menurut Seymour Feshbach, bahkan ada bukti ilmiah awal yang menunjukkan bahwa katharsis memang ada. Menunjukkan apa yang dia katakan adalah katharsis dengan menghina remaja laki-laki yang masih kuliah, dengan "sejumlah ucapan yang tidak beralasan dan sangat kritis" dalam setting eksperimental dan kemudian mereka menonton baik secara dengan difilmkan agresi (pertarungan secara brutal) atau film netral (film yang biasa-biasa saja).
Pria itu kemudian diminta untuk mengevaluasi film tersebut. Mereka yang telah melihat film pertarungan menjadi  kurang agresif dalam sikap atau kelakuan  mereka daripada yang menonton film dengan tayangan netral.

Tapi, seperti yang ditulis F. Scott Andison pada tahun 1977 setelah meninjau ulang selama dua puluh tahun bukti ilmiah, "Kita dapat menyimpulkan berdasarkan pengumpulan data saat ini

Televisi itu, Seperti yang ditunjukkan hari ini, mungkin memang merangsang jumlah orang yang lebih tinggi agresi pada individu dalam masyarakat. Karena itu, rasanya masuk akal untuk sementara menerima teori 'kekerasan TV sebagai stimulan terhadap agresi' dan menolak 'teori katarsis', lalu dia menyimpulkan bahwa katarsis adalah "argumen palsu".

Tetapi Feshbach  memperoleh hasil yang serupa dalam sebuah studi pada tahun 1971 (Feshbach dan Singer). Penelitian dilakukan di rumah kelompok untuk remaja anak laki-laki Selama enam minggu, sebagian anak laki-laki dilarang menonton televis dengan tayangan tanpa kekerasan, sementara sebagian lainnya diizinkan untuk menyaksikan konten kekerasa. Berbagai tindakan perilaku menunjukkan bahwa anak laki-laki yang melihat tayangan kekerasan menjadi kurang agresif. Hasil ini mungkin tidak disebabkan oleh katarsis, dan sebgaian anak laki-laki yang ditempatkan dalam tayangan tanpa adegan kekerasan mungkin menjadi frustrasi karena mereka tidak diizinkan untuk menonton beberapa acara favorit mereka. Rasa frustrasi yang meningkat bisa menyebabkan peningkatan pada agresivitas mereka.

Ilmuwan sosial akhirnya menyimpulkan, menurutnya teori catharsis ini tidak ada. Yang menyebabkan tingginya tingkat agresi yaitu, karena kurangnya rasa puas pada mereka yang tidak tersampaikan yang akhirnya menimbulkan kekerasan itu sendiri. Karena menurutnya, sebagian anak atau remaja yang telah menonton atau melihat adegan kekerasan akhirnya tidak melakukan tindakan tersebut karena menurut mereka hal itu sudah tersalurkan dengan mereka menonton tayangan tersebut, dan mereka yang telah menyaksikan adegan atau film tentang kekerasan itu tahu bahwa adegan itu tidak boleh dilakukan dalam kehidupan nyata karena akan melukai manusia lain.

Sebaliknya, remaja yang tidak menonton tayangan kekerasan itu mereka bukan ingin melakukan kekerasan tetapi lebih kepada mereka tidak dapat menyalurkan apa yang mereka mau. Dan, akhirnya malah menimbulkan kekerasan itu sendiri. Dan ini tidak ada hubungannya dengan katharsis.

B.       Teori Aktif Penayangan Televisi

            Gagasan yang digarisbawahi bahwa konsumen media memang membawa sesuatu pada situasi penayangan. Artinya, mereka membuat penilaian tentang apa yang mereka lihat saat mereka mengonsumsi tayangan tersebut. Teori Aktif dari Penayangan Televisi ini melihat pemirsa pada umumnya dan di dalam debat kekerasan, terutama anak-anak secara aktif dan dengan sadar memahami konten televisi.

Melebihi 2 setengah tahun”, mereka tuliskan, “perhatian visual terhadap televisi meningkat sepanjang tahun-tahun prasekolah (TK) dan mungkin akan hilang selama usia sekolah... kami menyarankan peningkatan ini mencerminkan perkembangan kognitif, peningkatan pengetahuan dunia dan pemahaman tentang kode sinematik dan struktur format televisi” (Anderson dan Lorch, 1983)

“Proposisi bahwa anak itu adalah makhluk aktif, kognitif dan sosial – televisi dipandang memberikan perngaruh yang sangat kuat sehingga anak menjadi reaktif dalam kehadirannya”. (Anderson dan Lorch, 1983). Pandangan pesimis tentang kemampuan melihat dan kognitif anak-anak ini, menurut mereka, mau tidak mau membawa pendukung kognisi sosial untuk melebih-lebihkan kekuatan medium dan meremehkan pengaruh yang dimiliki masing-masing pemirsa dalam menentukan efeknya. Dengan kata lain, “teori aktif” mengasumsikan bahwa perhatian menyebabkan pemahaman dan oleh karena itu, efek. Teori aktif menonton televisi mengasumsikan bahwa pemahaman menyebabkan perhatian, dan oleh karena itu, efek sebagai teori pendengar aktif. Teori-teori ini, yang berpendapat bahwa rata-rata anggota audiens secara rutin menolak pengaruh konten media dan membuatnya sesuai dengan tujuan mereka sendiri, ditentang oleh perspektif lain. Mempertanyakan kemampuan orang untuk menolak pengaruh pesan yang terstruktur secara sistematis untuk menyampaikan makna tertentu. kedua jenis teori ini semakin banyak didukung dengan menumbuhkan tubuh bukti empiris. Ini sangat mungkin bahwa keduanya valid, bahkan jika mereka tampaknya menawarkan pandangan kontradiktif tentang kekuatan relatif media penonton.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Opini tentang buku : Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok (Puthut EA)